DILEMA KETERGANTUNGAN MIGAS DI TENGAH DESAKAN TRANSISI ENERGI

Kian kencangnya ajakan dunia internasional untuk mengakselerasi pemanfaatan daya bersih yang lebih ramah lingkungan serta meninggalkan daya fosil jadi keadaan sulit yang harus dihadapi pemerintah.

Di satu segi desakan untuk meninggalkan daya fosil diyakini sanggup mengendalikan emisi gas rumah kaca, tapi di segi lain Indonesia belum sanggup seluruhnya lepas dari daya ‘kotor’ tersebut.

Indonesia sebetulnya miliki sumber daya daya baru terbarukan (EBT) terbesar sekaligus penyumbang emisi karbon dunia. Namun, bukan bermakna sanggup bersama serta merta meninggalkan daya fosil layaknya minyak dan gas bumi serta batu bara.

Apalagi, transisi daya memerlukan cost yang tidak sedikit, supaya perihal itu sanggup memberatkan negara-negara berkembang dan terhitung negara miskin.

Perlu adanya trick dan perencanaan matang supaya sistem transisi daya fosil menuju daya terbarukan sanggup melaju tanpa hambatan.Sejauh ini, pemerintah masih terus menopang upaya peningkatkan memproses minyak dan gas bumi (migas) nasional walaupun ajakan dunia internasional untuk mengakselerasi pemanfaatan daya bersih dan lebih ramah lingkungan kian kencang.

Sejumlah cara pun ditempuh untuk mengejar target memproses migas, terlebih pada periode transisi daya mengingat bahan bakar fosil layaknya migas dan batu bara masih miliki peran perlu untuk dikembangkan sebelum daya baru terbarukan (EBT) yang lebih bersih tersedia.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menjelaskan gas bumi bakal jadi bahan bakar pembangkit untuk mem-back up EBT yang berbentuk intermiten. Migas terhitung berperan dalam pemenuhan keperluan domestik, antara lain sebagai bahan bakar transportasi, bahan baku dan bahan bakar di industri, serta bahan bakar di rumah tangga.

“Minyak bumi masih jadi daya utama untuk transportasi, sebelum digantikan bersama kendaraan listrik, dan gas bumi sanggup dimanfaatkan untuk daya transisi sebelum daya baru terbarukan [EBT] 100 % di pembangkit listrik,” papar Arifin, pekan lalu.Itu sebabnya, kata dia, pemerintah bakal terus berusaha tingkatkan memproses migas nasional untuk mengejar target memproses minyak sebesar 1 juta barel per hari dan gas bumi 12 miliar standar kaki kubik per hari (Bscfd) dengan Flow Meter LC pada 2030.

Sejumlah trick yang dijalankan untuk tingkatkan memproses dan cadangan migas adalah optimasi memproses lapangan existing, transformasi resources to production, mempercepat chemical EOR, serta eksplorasi secara masif untuk penemuan besar.

Selain itu, terhitung bersama penerapan carbon capture and storage/carbon capture, utilization and storage (CCS/CCUS) untuk lapangan-lapangan migas.

Untuk menanggulangi pergantian iklim dan menekan karbon dioksida, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji menjelaskan pemerintah bakal memperluas potensi kerja mirip pemanfaatan teknologi CCS/CCUS pada lapangan minyak dan gas bumi di Indonesia.

“Skema kerja mirip yang dikembangkan memadai luas, tidak sebatas menyimpan karbon dioksida di lapangan migas, tapi terhitung hub-clustering, supaya sanggup lebih luas mengakomodasi berbagai bentuk kerja mirip skema bisnis dalam penanganan climate change,” ujarnya layaknya dikutip Antara.

Setidaknya, terkandung tiga potensi kerja mirip CCS/CCUS, yaitu pertama, pengembangan manajemen CCS/CCUS hub & clustering regional di mana sebagian emisi bersama hub sumber emisi karbon dioksida yang terhubung bersama sebagian klaster penyerap karbon dioksida di suatu wilayah.

Kedua, pengembangan pemanfaatan karbon dioksida untuk membuahkan metanol. Terakhir, pengembangan hidrogen biru dan amonia biru dilengkapi CCS.Bagaimana pun, transisi daya merupakan sistem panjang yang harus dijalankan oleh negara-negara di dunia untuk menekan emisi karbon yang sanggup sebabkan pergantian iklim. Kesepakatan dalam transisi daya punya tujuan untuk menuju ke titik yang mirip yaitu pemanfaatan daya bersih yang terus meningkat.

Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo terhitung udah memberikan bahwa Indonesia bakal mencapai net zero emissions (NZE) pada 2060.

Emisi sektor nergi Indonesia pada 2021 sebesar 530 juta ton Co2e, saat peak emisi diperkirakan terjadi pada 2039 sebesar 706 juta ton CO2e. Namun, emisi menyusut secara signifikan sehabis 2040 mengikuti selesainya kontrak pembangkit fosil.

Tingkat emisi pada 2060 sebesar 401 juta ton karbon dioksida melalui skenario NZE yang berasal dari sektor industri dan transportasi.