Strategi Menangani Premanisme Bersamasama dengan Ormas: Apakah Perlu Revisi Undang-Undang?

Strategi Menangani Premanisme Bersamasama dengan Ormas: Apakah Perlu Revisi Undang-Undang?

Setelah bertahun-tahun menjadi masalah bagi masyarakat, pemerintah lewat Kemendagri baru-baru ini memberikan respon terhadap tindak pidana premanisme yang menyamar sebagai ormas dan telah banyak dituduhkan atas gangguan pada iklim investasi di tanah air. Sorotan utamanya jatuh pada proyek pembangunan pabrik kendaraan bermotor elektrik milik perusahaan China bernama BYD di wilayah Subang. Menurut Eddy Soeparno, Wakil Ketua MPR RI, banyak keluhan tentang praktik pemerasan oleh sejumlah ormas dalam hal tersebut.

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, memberikan tanggapannya melalui rencana untuk mengoreksi Undang-Undang No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Ia menekankan perlunya pemeriksaan finansial organisasi tersebut agar dapat meminimalisir tindakan intimidatif yang pernah terjadi sebelumnya.

Tito menggarisbawahi bahwa penyempurnaan UU Ormas itu akan dijalankan secara teliti. Ia bersikeras bahwa hasil akhir dari undang-undang ini pastinya masih akan melindungi hak masyarakat untuk berpendapat bebas.

“Kita berencana mengevaluasi undang-undang terkait organisasi masyarakat karena kami memahami bahwa tujuan pembentukan organisasi tersebut adalah demi kebebasan berserikat dan berkumpul serta menyampaikan pendapat,” ungkap Tito saat menghadiri acara di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta, pada hari Jumat, 25 April 2025.

Walaupun kelihatannya mengesankan dan peka terhadap situasi, tawaran Tito itu belum menerima respon positif dari DPR dan publik. Salah satu penolakan datang dari Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, yang menyatakan bahwa Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan yang sudah ada cukup kokoh dalam aspek hukum untuk menangani perilaku premanistik sembunyi di balik nama organisasi kemasyarakatan tersebut.

Dia menyebutkan bahwa UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas) diresmikan sebagai pengganti dari UU No. 8 Tahun 1965 yang pada masa itu dianggap telah tidak relevan lagi. Selanjutnya, undang-undang ini mendapat tambalan berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 Tahun 2017 tentang Penyesuaian terhadap UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas, sehingga memberi kekuatan kepada pihak pemerintah untuk membubarkan organisasi masyarakat secara langsung tanpa harus melewati proses peradilan.

“Pernah ada kasus dimana pemerintah sudah membubarkan organisasi kemasyarakatan sebelumnya, serta menggunakan undang-undang saat itu dan hingga kini,” ungkap Rifqinizamy di kompleks MPR/DPR RI, Senin (28/4/2025).

Contoh itu pernah terjadi pada FPI dan HTI lantaran kedua organisasi ini dipandang bertolak belakang dengan Pancasila dan UUD 1945, selain juga dianggap menimbulkan ketidaknyamanan bagi publik akibat sering kali melaksanakan sweeping, padahal hal tersebut semestinya merupakan tanggung jawab aparat penegak hukum.

Menurut pendapat saya sendiri, jika tujuannya adalah menghapuskan organisasi masyarakat yang bermasalah, perbaikan pada Undang-Undang Organisasi Masyarakat masih belum begitu mendesak,” ungkapnya.

Meski demikian, politisi Nasdem tersebut menegaskan bahwa Komisi II siap dan terbuka bila UU Ormas tersebut harus direvisi sebagai bentuk usulan dari pemerintah.

“Berdasarkan pandangan kami di DPR, khususnya Komisi II DPR RI, jika sebenarnya proposal tersebut berasal dari pemerintah dan kita diminta oleh ketua DPR untuk mengkaji hal ini, maka kita bersedia melakukannya,” ungkapnya.

Selain mendapat kritik dari Komisi II, usul Tito juga mendapat catatan dari rekan sejawatnya, Menteri HAM, Natalius Pigai. Dalam keterangan tertulis, Pigai mengingatkan Tito agar revisi UU Ormas tidak menjadi ugal-ugalan sehingga menjadi alat untuk membatasi demokrasi Indonesia yang kian rendah di era kepresidenan Prabowo Subianto.

Dia bahkan menginginkan agar Tito mencabut peraturan pemerintah dalam bentuk persekot yang sebelumnya diimplementasikan oleh Presiden Joko Widodo dan memungkinkan pembubaran secara sewenang-wenang tanpa adanya keputusan dari pengadilan.

“Diskusi kami berfokus pada Indeks Demokrasi yang senantiasa rendah; terjadi penurunan indeks tersebut dari tingkat prestisius hingga mencapai tahap fraud democracy akibat antara lain adanya UU Ormas atau Perppu No. 2 Tahun 2017 ini. Karena alasan itu, perubahan undang-undang ini bertujuan untuk memperluas ruang demokrasi. Bahkan beberapa hari yang lalu saya telah menegaskan hal serupa kepada pers bahwa UU Ormas harus diperbaharui dengan fokus utama pada Perppu No. 2 Tahun 2017,” ungkap Natalius Pigai.

Undang-undang Organisasi Masyarakat Sipil: Kekuatan di Bidang Hukum, Kelemahan dalam Pelaksanaan

Sebagai anggota organisasi masyarakat (Ormas) bernama Rifqinizamy, dia tidak menyangkal bahwa banyak Ormas terkait dengan para petinggi politik yang sedang memegang kekuasaan. Dia mengatakan bahwa situasi seperti itu wajar saja, karena bergabung dalam sebuah Ormas merupakan suatu hak dasar untuk bertemu dan bernaung bersama sesuai dengan perlindungan Undang-Undang Dasar 1945.

“Bila membicarakan keterkaitan, tidak ada hambatannya; kami dekat dengan organisasi kemasyarakatan. Saya sendiri adalah bagian dari beberapa organisasi tersebut dan tak ada yang melarangnya,” jelas Rifqinizamy.

Tetapi ia tidak setuju bila Organisasi Masyarakat (Ormas) berubah menjadi sarana kekerasan dan perilaku premanistik hanya untuk mendapatkan kedudukan. Ia keras terhadap ide itu dan menganjurkan bagi para petugas yang menjaga hukum untuk menghapuskannya.

“Kalau memang betul apa yang disampaikan media, dan ada aksi premanisme. Saran saya, tegakkan aturan hukum. Dan kalau memang bisa dibuktikan bahwa itu bukan oknum ormas, tetapi resmi dari kebijakan ormasnya, negara bisa mengambil tindakan, sampai dengan pembubaran,” kata Rifqinizamy.

Maka dari itu, sebagai gantinya melakukan revisi terhadap UU Ormas yang butuh proses panjang, Rifqinizamy mengajak pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah (PP) guna merespons masalah premanisme yang tengah marak dibicarakan. Menurunya, hal tersebut merupakan pendekatan yang lebih tepat dalam strategis serta bisa diimplementasikan dengan lebih cepat.

“Dan tidak perlu revisi, karena undang-undang sekarang sudah memperkenankan hal itu,” kata dia.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman N Suparman, mendorong penguatan pengawasan berbekal dengan UU Ormas yang ada. Baginya, hal itu sudah cukup untuk memberikan efek jera dengan syarat ketegasan dan konsistensi tanpa tebang pilih hukuman.

“Poin yang harus kita tingkatkan adalah mengenai sistem pengelolanya, seperti contohnya pengawasan dapat bersifat rutin dengan penilaian oleh pemerintah terhadap seluruh organisasi kemasyarakatan. Dengan begitu akan segera ada langkah jika mendapat laporan dari publik,” ujar Herman.

Dia pun mendorong pemerintahan nasional maupun lokal agar bersama-sama memantau serta memberikan sanksi kepada organisasi massa yang melanggar peraturan. Menurut pandangan Hermann, apabila otoritas bertindak secara sigap dan tegas, kekerasan yang sering kali menyerang bisnis dan perusahaan swasta bisa secepatnya diakhiri.

“Kebijakan yang ada di tingkat perencanaan sering kali dirancang dengan sangat baik secara teoritis, namun ketika diterapkan praktis kerapkali mengalami kendala. Oleh karena itu, kami mendukung adanya pengawasan bersama-sama. Pengawasan tersebut melibatkan berbagai pihak seperti Pemerintah Daerah, lembaga penegak hukum, masyarakat umum, organisasi masyarakat sipil, serta elemen-elemen lainnya,” jelas Herman.

Razman Nasution dari Ormas GRIB Jaya mengatakan bahwa mereka mensupport upaya pemerintah untuk memperbaharui Undang-Undang Ormas sebagai tanggapan atas tindakan premanisasi yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Meski demikian, ia juga menekankan pentingnya agar penyusunan ulang undang-undang ini harus dilakukan secara hati-hati sehingga jangan sampai merugikan atau memberi stigma buruk kepada nama-nama organisasi karena perbuatan kekerasan ataupun perilaku premanistik tertentu.

“Karena bagi kami ormas bukanlah sebuah lembaga yang melakukan kejahatan seperti opini yang terbangun saat ini. Karena itulah kami tidak ingin ada satu opini publik yang liar yang mengarah bahwa ormas itu identik dengan kejahatan,” kata Razman.

Dia berharap seluruh pihak dapat menahan diri untuk tidak memberikan komentar tentang organisasi massa lalu menghubung-hubungkan hal tersebut dengan perilaku kriminal. Ia percaya bahwa hanya pasukan penegak hukum, terutama kepolisian, yang memiliki wewenang untuk membahas masalah atau perkara hukum semacam itu.

“Silakan biarkan polisi yang menangani hal ini, tidak ada kepala daerah yang harus mengambil kendali lebih dari batas mereka dan berpura-pura bahwa mereka sangat peduli dengan kemajuan negeri ini sementara kita semua dianggap rusak,” katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *